CERPEN: CERITA DARI MALAYSIA

    Setelah begitu lama berpisah dengannya, kami pun bertemu kembali disuatu tempat pesta perkawinan sahabatnya. Wajahnya begitu muram, hanya jenggotnya sedikit menebal menggantung di bawah dagunya. Matanya tak henti-henti menatapku tajam. Maklumlah, bertahun-tahun kami tak pernah bertemu semenjak tamat SD. Gayanya tak pernah berubah, hanya perubahan wajahnya yang begitu nampak. Guratan-guratan dijidatnya membayangkan perjuangan hidup yang sangat mendalam.

    “Saya adalah salah satu korban dari tidakan kekerasan di Malaysia”. Ia memulai ceritanya sambil sesekali menatapku tajam.

    Tiga tahun lalu saya ikut menjadi TKI di Malaysia, hal ini terjadi karena tuntutan ekonomi yang sangat kuat. Aku pergi dengan ke-tujuh teman yang sama-sama berasal dari Flores NTT. Berbekal semangat perjuangan hidup, dengan  perasaan haru saya tinggalkan semua kenangan ditempat kelahiranku, dengan harapan ekonomi keluarga kami akan semakin baik.

    Segera saja saya mengurus visa keluar negeri. Dalam bayangganku, dengan begini kehidupan kami tidak semestinya hanya bergantung pada hasil padi yang tidak seberapa dan itupun hanya sekali panen dalam setahun. Setelah semua perlengkapan selesai disiapkan, kami pun akhirnya berangkat. Dalam perjalanan,  hati saya terus saja berharap agar sampai di Malaysia saya bisa memperoleh pekerjaan yang layak.

    Beberapa pulau-pulau kecil telah kami lewati, dengan kapal besar dan dalam tempo seminggu saja kami sudah sampai di sana. Dalam perjalanan, selalu saja saya membayakan wajah manis dari kedua orang tua, igin hati untuk memeluk  mendekap penuh erat namun jarak sepertinya jadi pemisah. 

    Maklum saja kalau ini adalah kali pertama saya berjauhan dengan mereka. Baru seminggu saja rasanya sudah setahun. Ini mungkin efek dari rindu yang semakin menggebu. Saya sadar semua memang butuh pembiasaan agar diri ini bisa memendam rindu hingga akhirnya kelak pertemuan dapat kembali menghinggapi kami. 

    Beberapa hari kemudian, akhirnya kami sudah sampai Malaysia. Terik matahari menyapa dengan penuh hangat, keringat pun bercucuran hingga pakayan yang kami kenakan beraroma kesedihan. Kami pun akhirnya menuju ke Duta besar Indonesi untuk lapor diri. Sesampai disana, kami menerima banyak informasi dan arahan singkat terkait dengan kehidupan dinegeri Jiran tersebut. Setelah pengarahan selesai, kami segerah diantar oleh petugas ketempat kerja kami masing-masing.

    Dalam perpisahan antar saya dan teman seperjuangan, kami memadukanya denga sedikit air mata. Hal ini terjadi lantaran perpisahan selalu menanam rindu. Seminggu bersama bukanlah waktu yang singkat bagi kami. Air mata terus menetes, kaki terasa lumpuh tak mampu lagi menapaki jejak demi jejak hingga akhirnya  perpisahan terus menunjukan tajinya sebagai kata yang tak mampu untuk kami hindari dan pada akhirnya semua pergi dengan membawah kenangan sambil memegang secari kertas yang berisikan alamat rumah tempat kami akan bekerja.

    Setibanya di rumah calon majikan, saya pun berinisiatif untuk memperkenalkan diri kepada semua anggota keluarga yang ada di rumah tersebut. Terlihat rumah itu sangat megah dengan hiasan bunga yang begitu indah dan menawan membuat aku sedikit gugup. Maklumlah, sebagai orang kampung pasti akan merasa gugup ketika bertemu dengan orang baru apalagi dengan orang kaya seperti mereka. 
    
    Setelah selesai sesi perkenalan, saya pun akhirnya diantar ke-kamar khusus pembantu. Kamar kecil berdiameter 3 kali 4 cukup untuk membuat ataupun sekadar memikirkan sederetan tanya tentang keadaan keluarga. Kamar kecil itu juga memampukan saya untuk betah berlama-lama dalam merindu dan disitu saya menelfon kedua orang tua untuk menginformasikan kepada mereka kalau anak mereka sudah sampai Malaysia, bahkan sudah mulai bekerja. 

    Setelah selesai berbincang dengan mereka, akhirnya saya mulai bekerja. Sebagai tahap awal, hal pertama yang saya lakukan sa’at itu adalah menyetrika pakayan. Adalah pekerjaan yang jarang saya lakukan waktu berada di kampung, tapi dalam hati berpikir “tak apalah semua pasti akan terbiasa”.

    Hari terus berganti, tak terasa saya sudah separuh waktu bekerja sebagai pembantu. Hari-hariku selau kulalui dalam diam, bekerja agar tidak menanam luka untuk majikan adalah tekat yang selalu muncul. Semua pekerjaan kulakukan dengan hati terbuka, apapun jenis pekerjaan yang dilimpahkan kepada saya senyum adalah obat termanis untuk mengilangkan rasa cape. Terkadang memang saya bertunduk lesu memikirkan sejuta tanya tentang nasibku, yang walau aku tak pernah tahu kapan drama ini akan berakhir.    
   
    Beberapa tahun telah saya lewati, semua jenis pekerjaan hampir tidak ada yang terlewatkan oleh saya dan semuanya sudah menjadi rutinitas harian. Rasa ketidaknyamanan bekerja di rumah tersebut sudah mulai muncul dalam batin. Hampir tiap hari saya selalu bergejolak dengan diri hanya karena keinginan untuk kabur dari rumah itu. Entah nuansa baru itu cukup buatku getar, kecemasan semakin menghinggap. Hati terus bertanya, ada apa dengan saya?

    Sebuah pertanyaan ombang ambing yang sepertinya menuntut agar ada jawaban yang jelas untuk mengukir rasa yang semakin tak terarah. Rasanya pikiran ini sudah seperti bunga liar yang tumbuh dan bermekar pada dahan yang siap dipotong oleh pemiliknya.   
       
    Dalam keseharian, saya memang sering dimarahi dan kadang juga dipukul dengan alasan yang tidak jelas oleh majikan. Pikiran saya sangat kacau, batin terus berkecambuk seolah minta pulang. Sampailah saya pada puncak ketakutan, entah  karena angin apa saat itu, majikanku tiba-tiba datang marah-marah, memukul saya dengan selang dan menyiram badan saya dengan air yang sedang mendidih. Aku tak tahu, kaget, takut, kesal dan berusaha menahan sakit sakit, semuanya menari-nari dalam pikiranku juga menancap kuat dalam lara. 

    Sa’at itu, Kulit badanku terkupas, aku merasa kalau hidup saya sudah berakhir, semua mimpi manisku seolah-olah telah usang. Menangis adalah bunyi yang bisa menggantikan rangkaian kata yang mampu mewakili rasaku sa’at itu. Mendengar tangisanku, para tetangga akhirnya datang dan mereka menolongku untuk kemudian akupun dilarikan ke Rumah Sakit terdekat.

    Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, luka yang ada pada diri saya pelan-pelan sudah membaik. Aku akhirnya meminta pulang ke Indonesia dan melanjutkkan hidup dengan kedua orang tua. Di kampung kami buka usaha kecil-kecilan lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup tiap hari.

    Inginku saat ini adalah berterimakasih pada dia yang memberi, sebab bersama mentari aku percaya dia selalu mendekapku. Ragaku sekarang masih terpampang jelas. Kejadian itu semakin buatku rindu pada-Nya dan ia selalu hadir menyapa anganku. Bagiku ia adalah sosok rahasia yang mampu menjawab setiap keluh dan menerima  gumamku. “thanks Tuhan terpujilah namamu” katanya          

    Tak terasa sudah separuh waktu dia bercerita tentang nasibnya kala itu. Sembari tetesan air mata yang terus membayanginya, kami pun melangkah keluar dari tempat pesta tersebut untuk mencari kopi hangat. Agar kiranya kesedihan dulu tidak lagi terus menghantui. Cerita tentang nasibnya berakhir, sambil mengusap  tetesan air mata ia berkata “Malaysia good by dramaku telah berakhir dan aku akan mengukir kisahku  yang baru dalam latar yang berbeda” sambil  berjalan kembali menuju ke dalam kema.          

Komentar